SULTAN MAHMUD MALIK
AZ-ZAHIR (1326 - 1345)
Sultan Mahmud Malik Az-Zahir (1326-1345)
merupakan keturunan dari Sultan Malik as-Saleh. Setelah pemerintahan Sultan
Malik as-Saleh, selanjutnya kepemimpinan kerajaan diperintah oleh putranya yaitu
Sultan Muhammad Malik az-Zahir dari perkawinannya dengan putri Raja Peurlak.
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, koin emas sebagai mata
uang telah diperkenalkan di Pasai, seiring dengan berkembangnya kerajaan Samudera
Pasai, menjadi salah satu kawasan perdagangan sekaligus tempat pengembangan
dakwah agama Islam.
Sekitar
tahun 1326 Sultan Muhammad Malik az-Zahir meninggal dunia dan ia meninggalkan
dua orang putra yaitu Mahmud Malik az-Zahir dan Malikul Mansur atau yang
merupakan cucu dari Sultan Malik as-Saleh. Ketika
Sultan Muhammad Malik az-Zahir pada akhirnya meninggal dunia karena sakit,
tampuk kepemimpinan kerajaan Pasai untuk sementara diserahkan kepada Sultan
Malik as-Saleh yang juga memimpin kerajaan Samudera, karena kedua putranya
masih berusia sangat belia.
Sultan Malik
as-Saleh menyerahkan kedua cucunya kepada tokoh-tokoh yang piawai supaya mereka
dapat dengan baik memimpin kerajaan pada suatu saat nanti. Mahmud Malik
az-Zahir diserahkan kepada Sayid Ali Ghiatuddin, sementara Malikul Mansur
dididik oleh Sayid Semayamuddin.
Ketika kedua
pangeran ini beranjak dewasa dan dirasa sudah siap untuk memimpin pemerintahan,
maka Sultan Malik as-Saleh pun mengundurkan diri dari singgasananya yang
meliputi dua kerajaan, yakni kerajaan Samudera dan kerajaan Pasai. Sebagai
gantinya sesuai dengan kesepakatan orang-orang besar, diangkatlah Mahmud Malik
az-Zahir menjadi Sultan Kerajaan Pasai, sementara Malikul Mansur sebagai Sultan
Kerajaan Samudera.
Namun,
keharmonisan kedua Sultan kakak-beradik ini tidak berlangsung lama karena
terjadi perseteruan di antara mereka. Penyebabnya adalah ulah Sultan Mansur
yang ternyata menggilai salah seorang istri Sultan Mahmud yang tidak lain
adalah abang kandungnya sendiri. Sehingga pada akhirnya, Sultan Mansur
ditangkap dan diusir dari kerajaannya hingga kemudian meninggal dunia dalam
perjalanan. Maka, jadilah Sultan Mahmud Malik az-Zahir menguasai singgasana
Kerajaan Samudera dan Kerajaan Pasai hingga digabungkan kedua kerajaan itu
menjadi Kesultanan Samudera Pasai.
Sultan
Mahmud Malik az-Zahir memerintah tahun 1326 sampai tahun 1345. Pada masa pemerintahannya,
ia dikunjungi oleh Ibnu Batuthah, kemudian menceritakan bahwa sultan di negeri
Samatrah (Samudera) menyambutnya dengan penuh keramah-tamahan dan penduduknya
menganut Mazhab Syafi’i.
Sultan Mahmud
Malik az-Zahir adalah seorang pemimpin yang sangat mengedepankan hukum Islam.
Pribadi yang dimilikinya sangat rendah hati. Ia berangkat ke masjid untuk
shalat Jumat dengan berjalan kaki. Dan selesai shalat, sultan dan rombongan
biasa berkeliling kota untuk melihat keadaan rakyatnya, begitu Ibnu Batuthah
menggambarkan sosok Sultan Mahmud Malik az-Zahir.
Pada masa ini pemerintahan Samudra
Pasai berkembang pesat dan terus menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan
Islam di India maupun Arab. Bahkan melalui catatan kunjungan Ibnu Batutah
seorang utusan dari Sultan Delhi tahun 1345 dapat diketahui Samudra Pasai merupakan
istana yang disusun dan diatur secara India dan patihnya bergelar Amir, dan
juga terdapat pelabuhan penting. Dengan letaknya yang strategis, Samudera Pasai
berkembang sebagai kerajaan Maritim, dan bandar transito.
Kerajaan Samudra Pasai memiliki
hegemoni (pengaruh) atas pelabuhan-pelabuhan penting di Pidie, Perlak, dan
lain-lain. Hal ini juga sesuai dengan keterangan Ibnu Batuthah, yaitu komoditi
perdagangan dari Samudera yang penting adalah lada, kapur barus dan emas. Dan
untuk kepentingan perdagangan sudah dikenal uang sebagai alat tukar yaitu uang
emas yang dinamakan Deureuham (dirham).
Di bawah
kekuasaannya, Samudera Pasai mencapai kejayaannya. Menurut
catatan Ibnu Batuthah (seorang musafir yang ahli hukum Islam),
az-Zahir merupakan penguasa yang memiliki ghirah belajar yang tinggi untuk
menuntut ilmu-ilmu Islam kepada ulama. Dia juga mencatat, pusat studi Islam
yang dibangun di lingkungan kerajaan menjadi tempat diskusi antara ulama dan
elite kerajaan.
Ibnu Batuthah yang
merupakan seorang pengembara Islam dalam catatannya mengatakan bahwa ia sempat mengunjungi Pasai
tahun 1345 M. Ibnu Batuthah yang singgah di Pasai selama 15 hari, menggambarkan
kesultanan Samudera Pasai sebagai “sebuah negeri yang hijau dengan kota
pelabuhannya yang besar dan indah”. Ibnu Batuthah menceritakan ketika sampai di
negeri Cina, ia melihat kapal Sultan Pasai di negeri itu. Memang sumber-sumber
Cina ada yang menyebutkan bahwa utusan Pasai secara rutin datang ke Cina untuk
menyerahkan upeti.
Bagi Ibnu Batuthah,
Al-zahir adalah salah satu dari tujuh raja yang memiliki kelebihan luar biasa.
Ketujuh raja yang luar biasa itu antara lain: raja Iraq yang dinilainya berbudi
bahasa, raja Hindustani yang disebutnya sangat ramah, raja Yaman yang dianggapnya
berakhlak mulia, raja Turki dikaguminya karena gagah perkasa, raja Romawi yang
sangat pemaaf, raja Melayu Sultan Mahmud Malik az-Zahir yang dinilainya berilmu
pengetahuan luas dan mendalam, serta raja Turkistan.
Sebagai raja,
Al-zahir juga merupakan sosok yang sangat shaleh, pemurah, rendah hati, dan
mempunyai perhatian kepada fakir miskin. Meskipun ia telah menaklukkan banyak
kerajaan, Mahmud Malik az-Zahir tidak pernah bersikap jumawa. Kerendahan
hatinya itu ditunjukkan sang raja saat menyambut rombongan Ibnu Batuthah. Para
tamunya dipersilakan duduk di atas hamparan kain, sedangkan ia langsung duduk di
tanah tanpa beralas apa-apa.
Struktur pemerintahan pada masa
Mahmud Malik az-Zahir sama seperti struktur pemerintahan masa sultan sebelumnya
yaitu pimpinan tertinggi kerajaan berada di tangan sultan yang biasanya memerintah
secara turun temurun. Disamping terdapat seorang sultan sebagai pimpinan
kerajaan, terdapat pula beberapa jabatan lain, seperti Menteri Besar (Perdana
Menteri atau Orang Kaya Besar), seorang Bendahara, seorang Komandan Militer
atau Panglima Angkatan laut yang lebih dikenal dengan gelar Laksamana, seorang
Sekretaris Kerajaan, seorang Kepala Mahkamah Agama yang dinamakan Qadi, dan
beberapa orang Syahbandar yang mengepalai dan mengawasi pedagang-pedagang asing
di kota-kota pelabuhan yang berada di bawah pengaruh kerajaan itu. Biasanya
para Syahbandar ini juga menjabat sebagai penghubung antara sultan dan
pedagang-pedagang asing.
Selain itu menurut catatan M.Yunus
Jamil, bahwa pejabat-pejabat Kerajaan Islam Samudera Pasai terdiri dari
orang-orang alim dan bijaksana. Adapun nama-nama dan jabatan-jabatan mereka
adalah sebagai berikut:
1.
Seri Kaya Saiyid Ghiyasyuddin, sebagai Perdana
Menteri.
2.
Saiyid Ali bin Ali Al Makaarani, sebagai Syaikhul
Islam.
3.
Bawa Kayu Ali Hisamuddin Al Malabari, sebagai Menteri
Luar Negeri
Sementara anak-anak sultan baik
lelaki maupun perempuan digelari dengan Tun, begitu juga beberapa petinggi
kerajaan. Kesultanan Pasai memiliki beberapa kerajaan bawahan, &
penguasanya juga bergelar sultan.
Pusat pemerintahan kesultanan Pasai
terletak antara Krueng Jambo Aye (Sungai Jambu Air) dengan Krueng Pase (Sungai
Pasai), Aceh Utara. Menurut Ibn Batuthah yg menghabiskan waktunya sekitar dua
minggu di Pasai saat pemerintahan diperintah oleh Sultan Mahmud Malik az-Zahir,
menyebutkan bahwa kerajaan ini tak memiliki benteng pertahanan dari batu, namun
telah memagari kotanya dengan kayu, yang berjarak beberapa kilometer dari
pelabuhannya.
Pada kawasan inti kerajaan ini terdapat
masjid, dan pasar serta dilalui oleh sungai tawar yg bermuara ke laut. Ma Huan
menambahkan, walau muaranya besar namun ombaknya menggelora dan mudah
mengakibatkan kapal terbalik.
Menurut hikayat
Raja-Raja Pasai Sultan Mahmud ini diserang oleh kerajan Siam, karena tidak mau
memenuhi permintaan Siam untuk memberikan upeti. Serangan tersebut dapat
digagalkannya, dan baginda membuang adiknya Sultan Malik al-Mansur ke Tamiang,
karena al-Mansur mengambil wanita dari istananya ketika Mahmud ke luar Pasai. Sultan
Mahmud digantikan oleh adiknya sendiri.
Sejak tahun
1346, kepemimpinan Kesultanan Samudera Pasai di bawah rezim Sultan Mahmud Malik
az-Zahir digantikan oleh anaknya yang bernama Ahmad Permadala Permala. Setelah
dinobatkan sebagai raja, ia dianugerahi gelar kehormatan dengan nama Sultan
Ahmad Malik az- Zahir yang memerintah tahun 1345-1383.
Untuk
mengenangnya, di makamnya terpatri kata-kata penghormatan: yang mulia Mahmud Malik
az-Zahir, cahaya dunia sinar agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar